Total Pengunjung

Sabtu, 25 Desember 2010

Dua Wajah Jurnalisme

DUA WAJAH JURNALISME
Bagi sebagian pembaca awam istilah jurnalisme mungkin hanya sebatas ruang sempit penyajian berita terbaru, wawancara, verifikasi data dan segala tetek bengek  setumpuk informasi yang harus diseleksi mana yang layak terbit serta mungkin nasib paling nahas adalah ketika tuntutan seorang jurnalis profesional dalam menyelesaikan tugasnya, maut pun ia tantang. Bukan bermaksud mengkerdilkan peran seorang jurnalis, tetapi dalam konteks yang lebih komprehensif, hampir setiap jurnalis yang bekerja pada perusahaan media dunia sepakat bahwa harga mati yang menjadi acuan profesionalitas mereka adalah indepedensi. Pers berdiri netral, ia tidak bersembunyi dari berbagai selimut kepentingan, bukan alat politik korporasi apalagi menjadi kaki tangan corong propaganda seperti negara-negara komunis, inilah yang membedakan jurnalisme dengan opini ,novel fiksi atau sastra. Perihal berita yang disajikan jauh dari kata valid dan reliable, jurnalisme masih setia terhadap tradisi lama dalam memegang teguh prinsip indepedensi dan objektivitas.
Dalam ruang lingkup yang lebih luas, dewasa ini kajian jurnalisme yang semakin berkembang dari pengertian dasarnya yaitu menyajikan informasi, sudah menjadi menu wajib bagi para pengamat ekonomi, para pengambil kebijakan serta bagi mereka yang mengabdikan dirinya untuk mewujudkan dunia yang saling terkoneksi satu sama lain, informasi bak  kacang goreng di pasaran, lenyap satu muncul lainnya sehingga ketergantungan terhadap informasi layak menjadi prioritas utama di era informasi seperti ini. Penyebaran informasi yang sedemikian cepat bukan tidak mustahil menimbulkan masalah,  belakangan ini berbagai media internasional menyingkap skandal terbesar dalam sejarah dunia jurnalisme, WikiLeaks yang merupakan sebuah portal Whistle-Blower sekumpulan wartawan investigasi, hacker serta 800 wartawan lepas dari berbagai negara membocorkan puluhan ribu dokumen pemerintah amerika serikat melalui jaringan kabel bawah tanahnya yang diantaranya bahkan berstatus Secret Document, negeri Uncle Sam akhirnya kebakaran jenggot Aktivitas jurnalisme yang dinilai sebagain pihak sudah terlampau jauh mengundang polemik tersendiri bagi publik. Julian assange boleh saja berlindung dari payung amandemen pertama dengan alasan bahwa ia ingin menemukan standar baru bagi jurnalisme masa depan “Saya ingin menciptakan standar baru jurnalisme ilmiah” paparnya seperti yang dikutip ANTARA news.
Kasus serupa juga pernah terjadi, William Mark Felton dan Inu kencana, dua nama diatas merupakan para dedengkot Whistle Blower (Baca:Pembocor) yang membuat gerah institusi publik maupun swasta. Skandal watergate yang terkenal memaksa Richard Nixon angkat kaki dari jabatan kepresidenan, nama yang terakhir mungkin lebih familiar pada publik dalam negeri, rangkaian kasus yang menimpa mahasiswa IPDN dan berujung pada kematian 3 mahasiswa membuka bobrok institusi pendidikan dalam negeri.
 Jurnalisme dalam setiap kesempatan, punya karakter tersendiri. Dalam bukunya yang terkenal “9 Elemen Jurnalisme” Bill Kovach mengungkapkan bahwa peran pers selain bertugas sebagai pencari kebenaran, kepanjangan tangan dari rakyat dan membuat berita penting menjadi menarik untuk dibaca juga harus memiliki pijakan moral sebagai anjing penjaga (watch dog) bagi penguasa. Dorongam moral dalam diri pers untuk menyingkap data tersembunyi diyakini mampu mengubah pola pikir pembaca agar lebih Aware mengkaji suatu wacana berbau kontroversial. Pada titik inilah jurnalisme membentur dinding tebal, negara punya andil besar untuk mengendalikan arus informasi karena pers kerap diidentikkan dengan publik, maka publik yang baik adalah publik yang patuh terhadap hukum dinegaranya. Sebagian ahli menyebut sah-sah saja jika media lain tidak mampu mengungkap penyelewengan pemerintah terhadap publik sendiri, seperti yang dituliskan oleh profesor jurnalisme pada University of George Washington , Mark feldstein pada American Journalism Review edisi bulan september  Manakala jurnalisme tak mampu mengungkap penyelewengan, maka aktivis-aktivis anti penyalahgunaan wewenang bakal mengambilalih peran itu. Kadang dengan mempengaruhi peristiwa-peristiwa lewat cara-cara yang tak pernah terpikirkan politisi” kata Feldsten
            Pernyataan diatas tidak senada dengan yang dikatakan oleh sekretaris International Federation of Journalist (IFJ) agar tidak sembarangan dalam memproses data jurnalistik.”Jurnalis harus bertanggung jawab atas apa yang ia publikasikan” ujarnya dalam konfrensi dengan seluruh wartwan asia-afrika, selasa (21/12) malam lalu. Bagaimanapun juga, kebebasan pers adalah gambaran dari pemerintahan yang demokratis, sebab dalam pemerintahan yang demokratis negara menjamin hak rakyatnya untuk mengetahui disamping dua hak penting lainnnya yaitu kebebasan untuk berbicara dan kebebasan untuk berpendapat.
            Cerita punya cerita, sikap kritis yang dikembangkan oleh jurnalisme jangan selalu disalahartikan, benar jika jurnalisme harus bersekikap kritis bahkan menjurus skeptis , dengan sikap kritis itulah muncul kepercayaan publik bahwa pers telah menempatkan peran dan posisinya seperti yang diharapkan, tetapi hal tersebut bisa salah kaprah bilamana sikap kritis yang dimaksud tidak dibarengi oleh sikap tanggung jawab terhadap isi informasi tersebut.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar